Logo Dapobud
gambar data kosong
gambar data kosong
REK/WBTB/2020/01/00036

Kupatan Jolosutro

Upacara Kupatan Jalasutra diikuti oleh enam dusun, yaitu Jalasutra, Jasem, Prayan, Ngelosari, Kaligatuk, serta Pandeyan. Penting diulas terlebih dahulu mengenai istilah Jalasutra yang menjadi dasar nama upacara tradisional di Desa Srimulyo ini. Jalasutra dipilih sebagai identitas upacara, justru bukan Jasem, Prayan, Ngelosari, Kaligatuk, maupun Pandeyan, tentu mempunyai pertimbangan atau latarbelakang. Istilah Jalasutra pernah muncul dalam Babad Giyanti yang jadi rujukan berdirinya Kerajaan Kasultanan Yogyakarta tahun 1755: glar sandi jalasutra wong sakawan bagi bubuhan sami pun Wiranala umatur Pangeran Purubaya gusti nuwun kawula amit karuhun |mantuk mring Bagln arsa amrnahkn anak rabi. Terjemahan bebasnya: gelar sandi jalasutra untuk diberikan rata kepada empat orang. Wiranala berkata Pangeran Purubaya Gusti, hamba pamit dahulu pulang menuju Bagelen untuk/ mengatur pernikahan anak... Tampaknya istilah tersebut merujuk pada dunia militer tradisional. Namun yang menarik adalah Jalasutra sebagai terminologi maupun nama kampung bukanlah sebuah fenomena baru dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sebagaimana disinggung di awal, kedigdayaan dan olah spiritual Sunan Geseng atau Ki Depok atau Kyai Muhammad terkenal di penjuru negeri. Kala itu, wilayah dukuh Dalem masuk wilayah kekuasaan Pajang dengan rajanya, yakni Hadiwijaya. Raja tersebut menghadiahi Ki Ageng Pemanahan dan Ki Gede Panjawi lantaran berjasa menyingkirkan Raden Harya Penangsang dalam konflik takhta Demak. Pemanahan (meninggal 1575) memeroleh hadiah bumi Mataram yang detik itu berupa hutan bernama Alas Mentaok. Sedangkan Panjawi mendapat hadiah bumi Pati, di pantai Utara. Namun dalam tahap selanjutnya, justru Mataram berkembang pesat, bahkan mengungguli Pati, juga Pajang, Madiun, Bagelen, dan daerah lainnya. Semua itu berkat ambisi putra Pemanahan, yakni Sutawijaya (Panembahan Senopati), yang dikenal sebagai pendiri Kerajaan Mataram Islam 1586. Sutawijaya diangkat anak oleh Hadiwijaya (raja Pajang). Sutawijaya (meninggal 1601) mempunyai anak bernama Pangeran Purubaya. Lelaki tersebut mendengar ketenaran Sunan Geseng, lantas berniat bertandang ke dukuh Dalem lantaran tertarik belajar tarikat. Ia hendak mempelajari ilmu kasampurnaning urip. Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Purubaya pergi menemui Sunan Geseng bukan untuk belajar, melainkan mau menitipkan seorang anak dari selir raja Mataram yang dipulangkan ke daerah asalnya, Madiun. Bocah ini oleh Sunan Geseng diberi nama Raden Mas Jolang. Sang guru begitu menyayangi dan menularkan seluruh ilmunya kepada murid, seperti ilmu kautaman, kasampurnan, kanuragan, dan kebatinan. Setelah dewasa, Sunan Geseng menceritakan siapa sejatinya Raden Mas Jolang. Setelah mau menerima kenyataan, Sunan Geseng menyuruh Raden Mas Jolang kembali ke Mataram, tempat ia dilahirkan. Sesampainya di sana, Mataram sedang berduka. Panembahan Senapati tutup usia. Istri sang raja mengetahui kedatangan Raden Mas Jolang. Lalu, menyuruh abdi dalem untuk memanggil pria tersebut. Karena sudah dewasa dan berpikiran matang, Raden Mas Jolang diajak berembug serius mengenai masa depan kerajaan. Atas keputusan bersama, Raden Mas Jolang diminta menggantikan ayahnya sebagai raja. Dialah raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613. Dalam pengumpulan data di lapangan, dijumpai lebih satu versi cerita terkait wader bang sisik kencana. Akan tetapi, ada satu versi yang lebih masuk akal dan historis. Diriwayatkan, Raden Mas Jolang yang bergelar Prabu Anyakrawati ini memiliki istri tengah mengandung. Perempuan ini nyidam (menginginkan) ikan bersisik emas atau disebut wader bang sisik kencana. Demi memenuhi rengekan istri, raja menggelar sayembara. Informasi dari kota kerajaan ini sampai juga di telinga mantan gurunya, Sunan Geseng. Lalu, tokoh terkemuka tersebut diminta mengikuti sayembara. Menurut keterangan Pardiyono (juru kunci Makam Sunan Geseng), untuk menangkap ikan bersisik emas, Sunan Geseng mengajukan syarat dibuatkan sebuah jala dari sutra halus dan laut buatan (segarayasa) dengan dibendungkan Sungai Opak. Setelah semua peryaratan dipenuhi, ikan tersebut berhasil ditangkap. Atas keberhasilan ini, Sunan Geseng dibujuk tinggal di istana. Namun, bujuk rayu raja ditolaknya halus. Ia memilih tetap bercokol di desa bersama santrinya dan masyarakat petani, meski adoh ratu cedak watu. Daerah ini kemudian diberi status tanah perdikan (otonom), yang tidak wajib menyetor pajak kepada kerajaan. Guna menghormati sekaligus mengabadikan peristiwa agung tersebut, daerah yang ditinggali Sunan Geseng dinamakan Desa Jalasutra. Sebelum meninggal tahun 1613, Prabu Anyakrawati kemudian memerintahkan abdi dalem menemui Sunan Geseng. Utusan istana ini membawa hadiah berupa emas picis raja brana dan seperangkat gamelan. Kala itu, Sunan Geseng tengah berdakwah di tengah masyarakat. Di tengah jalan, para utusan bertemu Sunan Geseng dan menyampaikan pesan raja. Tetapi, Sunan Geseng menolak hadiah itu. Abdi dalem yang diutus ini juga emoh menerima kembali hadiah itu karena amanat raja. Sunan Geseng bisa memahami pemikiran mereka. Kemudian, pemberian raja ini dibagikannya ke masyarakat. Sedangkan gamelan dikubur dalam tanah. Menurut tuturan warga, tahun 1928 gong (salah satu perangkat gamelan) itu ditemukan, dan daerah ini kemudian dinamakan Desa Ngengong. Kisah penemuan gamelan ini ternyata tersurat dalam majalah Kajawn edisi Februari 1928: Saking Ngayogyakarta kawartosakn: drng dangu punika salah satunggiling tiyang dhusun ing Piyungan, saclakipun Kitha Agng, kala kalrs dhudhuk-dhudhuk amanggih gngsa saprangkat. Salajngipun gngsa wau lajng kaaturakn dhatng nagari, dene ingkang manggih, pinaringan ganjaran arta f 100. Terjemahan bebasnya: Dari Yogyakarta diberitakan bahwa belum lama ini salah satu orang dusun di Piyungan, dekat Kota Gedhe, ketika mengeruk (tanah) menemukan satu perangkat gamelan. Kemudian gamelan tadi diberikan ke pusat kerajaan, serta yang menemukan mendapat hadiah uang f 100. Sebagaimana dikemukakan singkat pada bab sebelumnya bahwa cikal-bakal Tradisi Kupatan Jalasutra saat Sunan Geseng sukses berguru kepada Sunan Kalijaga dan menjadi murid kinasih (tersayang), bahkan masuk dalam jaringan Walisanga di Demak. Maka, Sunan Geseng bersama istrinya perlu menggelar syukuran. Setelah melakoni perjalanan berdakwah sesuai instruksi Walisanga, Sunan Geseng yang terakhir menetap di Desa Jalasutra bersama istri dan buah hatinya itu ternyata masih ajeg menggelar tasyukuran (wilujengan) yang ditujukan kepada Tuhan. Acara tersebut melibatkan santri dan masyarakat setempat sebagai pendukung utama tradisi itu. Dari keterangan juru kunci Makam Sunan Geseng, dalam perkembangan waktu para santri tersebar di enam pedukuhan sering menggelar acara kirim doa bersama kepada leluhur setiap malam Jumat. Sebetulnya, acara wilujengan melibatkan barisan santri dan warga desa yang dilanjutkan dengan pembacaan doa dan mendongengkan riwayat nabi maupun Walisanga sudah membudaya di tanah Jawa. Dalam Serat Trilaksita (1916) memuat fakta tersebut: Sabn malm Jumungah ngundang para santri sarta ttiyang ingkang clak-clak ing asistenan, lajng kawaosakn kadis, para santri kapurih nyrp-nyrpakn suraosipun kadis wau, supados tiyang-tiyang wau sami mangrtos, lajng wilujngan rasulan. Sabn kmpalan kapala dhusun, sasampunipun andhawuhakn dhdhawuhan nagari, tuwin sans-sansipun padamlan ingkang prlu, lajng andongng llampahanipun para nabi, miturut dalil Koran, wusananipun lajng mardi sadaya knca kapala sakarerehanipun sami nglampahana ngibadah (smbahyang). Terjemahan bebasnya: Setiap malam Jumat mengundang para santri serta orang-orang terdekat di asistenan, lalu dibacakanlah hadis. Para santri disuruh untuk menghayati makna hadis tadi supaya orang-orang tadi menjadi paham. Kemudian dilakukanlah wilujengan rasulan. Setiap pertemuan kepala dusun, setelah menyampaikan perintah (tugas urusan) dari negara dan pekerjaan seperlunya lain-lain kemudian dilanjutkan dengan mendongeng riwayat para nabi menurut dalil Quran. Akhirnya setelah belajar, semua kerabat kepala dusun dan para bawahannya bersamaan menunaikan ibadah (sembahyang). Dalam acara tersebut, biasanya juga disajikan makanan dan disantap usai mengaji Al-Quran. Sementara dalam tradisi yang dikembangkan oleh Sunan Geseng bersama santri dan masyarakat lokal, sedekah yang disajikan masih sama tatkala Sunan Geseng pulang ke rumah usai digembleng Sunan Kalijaga, yakni kupat luwar yang khas dan gudeg mangar. Dikatakan khas karena masyarakat membahu membuat ketupat dari daun gebang berukuran lebih besar ketimbang ketupat biasa. Kupat persegi empat besar-besar ini ukurannya kurang lebih 15cm X 15cm sampai 35cm X 35cm. Dalam pemahaman kebudayaan Jawa, pembuatan ketupat yang merupakan ketrampilan turun menurun menghasilkan berbagai bentuk dan kegunaannya. Apa yang dibuat oleh Sunan Geseng bersama istrinya disebut kupat luwar. Jenis kupat ini biasanya dipakai dalam acara memenuhi janji atau membayar nazar dan tanda bersyukur kepada Tuhan karena telah terbebas atau luwar dari kesulitan. Menengok laku spiritual dan perjalanan hidup Sunan Geseng memang diwarnai kesulitan dan penderitaan. Misalnya, harus berpisah dengan keluarga bertahun-tahun untuk memperdalam pengetahuan agama. Saat menjadi murid Sunan Kalijaga, ia juga rela tubuhnya geseng gara-gara dibakar dan tentunya dipandang mata kurang sedap. Namun hal ini akhirnya dia terima dengan ikhlas, dan tetap bersyukur kepada Tuhan melalui acara Tradisi Kupatan. Kemudian, di Jawa ada jenis kupat sinta memuat makna mengharapkan keselamatan atau kawilujengan, seperti halnya cerita lama yang menyebutkan bahwa pada waktu kelahirannya bayi Sinta dimasukkan ke dalam sebuah ketupat lalu di buang ke dalam bengawan, dan selamat. Ada pula kupat kodok, bentuknya tidak membujur panjang, namun pendek seperti kodok, sering dipakai untuk hiasan. Kupat persegi banyak dipakai untuk sarana penolak bala yang dipasang dipojok-pojok rumah atau di atas pintu masuk. Kupat jago, bentuknya seperti ayam jantan, acap dipakai untuk hiasan. Kupat sungu bentuknya seperti tanduk untuk hiasan. Kupat sidalungguh yang berbentuk kerucut dipakai untuk upacara kehamilan dan mengandung harapan agar janin dalam kandungan tetap kuat kedudukannya. Didasarkan sumber dari Malay Annal (1912), sejarawan HJ de Graaf menyebutkan bahwa ketupat memang simbol perayaan yang bertemali erat dengan dunia Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Fatah pada awal abad XV. Maklum bahwa Sunan Geseng pernah menjalin relasi dengan petinggi Kerajaan Demak dan sempat tinggal di lingkungan Demak, sudah barang tentu turut terpengaruh oleh kebudayaan yang berkembang di sana, termasuk makanan ketupat. Bungkus ketupat dipilih dari janur. Mengapa janur? De Graaf menganalisa secara antropologis bahwa hal itu berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran karena pohon kelapa kebanyakan tumbuh di dataran rendah. Selain itu, warna kuning memberi arti khas untuk membedakan dari warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur. Dalam dimensi Islam Jawa, kupat ditafsirkan pula memuat arti hamengku papat. Bahwa manusia dilingkupi 4 macam sifat dasar, yakni aluamah (hawa nafsu), supiyah (kebaikan), amarah (emosi), dan mutmainah (orang yang beramal). Kulit ketupat memakai daun kelapa atau janur yang berarti cahaya atau pepadang, sedangkan beras sebagai isinya mengandung arti bebering rasa. Selain kupat, dalam Tradisi Kupatan Jalasutra disajikan pula gudeg manggar berbahan bunga kelapa, lalu dicampur atau ditambahkan pada daging ayam. Lantaran kekhasan sajian serta keberulangan tradisi yang muncul sejak Sunan Geseng ini selama berabad-abad, publik menamainya Tradisi Kupatan Jalasutra. Sebagai orang yang berpengaruh dan dianggap paranporo, Sunan Geseng ditokohkan dan abadi dalam ingatan kolektif masyarakat. Maklum jika segala kegiatan yang hendak diadakan daerah tersebut, pastilah selalu memohon restunya. Sedari Sunan Geseng masih hidup hingga meninggal, warga tak kunjung putus menggelar upacara dengan spirit bersih desa. Banyak tamu kepencut datang dan menyaksikan upacara itu. Bahkan, tamu dari kerajaan menyempatkan diri datang demi menghormati Sunan Geseng dan menikmati hidangan ketupat beserta lauknya. Merujuk tradisi tutur lokal, raja istana Kasultanan Yogyakarta yang pernah datang menyaksikan Tradisi Kupatan Jalasutra adalah Sinuwun Sultan Hamengku Buwana IX. Kala itu, Yogya tengah diduduki penjajah Jepang, dan masyarakat banyak yang menderita kelaparan serta hidup sengsara. Yang unik, masyarakat Desa Srimulyo (Jalasutra) justru tetap mampu bertahan membikin sandang dengan cara ngantih (membuat benang dengan alat jantera) dan menenunnya menjadi pakaian. Detik itu, Sultan HB IX berkenan menyambangi para kawula di Desa Srimulyo, di sesela melihat kondisi masyarakat pedesaan yang mengalami kenestapaan. Sultan nekad menempuh jalan terjal di pedesaan. Mendengar kabar raja hendak datang, rakyat gembira dan bersiap menyambutnya. Tarub dipasang dan hasil pertanian dipamerkan untuk tampil meriah. Masyarakat setempat bekerja dengan gembira menyambut kedatangan Ngarso Dalem sebagai raja yang dikenal dekat dengan para kawula. Sultan terkesan dengan kahanan dan semangat hidup masyarakat Desa Srimulyo. Lantas raja berkata, Dadio kene iki sumber kemakmuran! (Jadilah desa ini sebagai sumber kemakmuran). Di mata rakyat, ujaran itu seperti titah yang tak terbantah. Semacam motivasi, kalimat pendek tersebut disimpan rapi dalam memori masyarakat. Dampak psikologis warga lokal adalah getol membangun desa untuk mewujudkan kemakmuran. Aneka pembangunan dilakukan, misalnya membikin jalan tembus ke arah Piyungan sampai Dlingo, hingga Dlingo menjadi terbuka. Tak hanya itu, pengadaan air bersih dan dilakukan penghijauan tanah yang gersang, termasuk menghijaukan Sultan Ground (tanah milik Sultan). Dalam momentum kunjungan ini, Ngarsa Dalem mengajukan pertanyaan: Apa di sini ada kupat? Pertanyaan itu mendadak diucapkan sebab dahulu ada seorang abdi yang rumahnya di Jalasutra acap membawa kupat dan gudeg manggar ke istana. Kupat dan gudeg manggar yang menjadi pelengkap upacara tradisional sebagai ucapan rasa syukur Nyai Cakrajaya di Lowanu atas keberhasilan suaminya menjadi murid Sunan Kalijaga. Sampai detik ini, kupat tak pernah ketinggalan menjadi bagian penting dari upacara itu. Merujuk buku Myth and Meaning (1978) yang menjelaskan hasil kajiannya tentang kode-kode kebudayaan melalui makanan tertentu yang dipilih sebuah suku. Raymond Thallis (1996) meneliti hubungan antara makanan, pembentukan kosakata, dan identitas kebudayaan. Demikian pula kupat dalam alam pemikiran raja dimaknai sebagai laku papat: (1) lebar (selesai menjalankan tempaan/ujian); (2) luber (melimpah, memberi sedekah); (3) lebur (menyatu karena sudah saling memaafkan) (4) labur (cat gamping berkelir putih, kembali pada kesucian: fitrah). Sebagai pemangku budaya Jawa di istana, raja juga memahami bungkus kupat yang teranyam njlimet ialah simbol dari kesalahan manusia. Kemudian, saat kupat dibelah akan menampakkan kelir putih merupakan simbol atas kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Manusia Jawa klasik sering mengucapkan: mangan kupat nganggo santen, menawi lepat nyuwun pangapunten. Wong urip ning ndoyo iku ora iso icul soko luput, kabeh duweni luput. Ananging ono ajaran Jawa kang nyebut wong linuwih iku ambek lan sugih pangapura. Petinggi keraton berujar bahwa manusia diharuskan saling memaafkan meski kesalahan seseorang segedhe gunung dan seluas samudera. Jika ada orang yang memohon maaf, namun yang dimintai maaf bersikeras enggan memaafkan karena masih menyimpan rasa gething, maka itu bukanlah tindakan yang baik. Ingatlah bahwa salah satu sifat mulia Gusti Allah saja adalah maha pemaaf, mengapa manusia sebagai hamba Allah tidak mau menyediakan maaf kepada sesamanya. Raja memberi penjelasan nilai kearifan universal bahwa mengakui kesalahan dan saling memaafkan, akan menimbulkan rasa tenteram. Tentrem iku sarane urip ning ndoyo. Kamulyaning urip iku dumunung ana tentereming ati. Kebencian segera mungkin diakhiri dengan cara memaafkan, tidak perlu gengsi dan tidak memandang umur maupun pangkat. Aja sira mulang gething marang liyan, jalaran iku bakal nadur cecongrahan kang ora ana uwis-uwise. Sebuah potret kearifan lokal Jawa dibabar lewat kekupat yang disajikan dalam Tradisi Kupatan Jalasutra. Ritual ini dihelat selepas panen raya, terutama padi yang merupakan tanaman pokok pembawa berkah bagi masyarakat Jawa yang bercorak agraris. Atas dasar itulah Kupatan Jalasutra selalu dihelat setahun sekali usai warga rampung panen raya (padi). Biasanya mengambil waktu Senin Legi, ketika menjelang purnama. Pemilihan Senin Legi mengacu pada hari di mana Sunan Geseng diangkat Sunan Kalijaga sebagai murid. Tanggal yang dipilih berpedoman kalender Jawa, antara 10-15. Bulan penyelenggaraannya adalah Juli atau Agustus atas saran dari pemerintah daerah. Mengenai waktunya, puncak acara sekitar pukul 14.00 hingga 16.00. Meski sama-sama berbahan kupat, Tradisi Kupatan Jalasutra memiliki sejumlah perbedaan dengan upacara tradisional di daerah lain. Guna mengetahui letak perbedaan ini, dicomotkan fakta dalam majalah Kajawn edisi Desember 1937 mengungkapkan upacara kupatan kala bulan Syawal. Dikisahkan: Tatacara ing Rmbang, kupatan punika sabibaripun Riyadi Agng, ttiyang sampun wiwit sami bancakan kupat saha lpt, kakpangakn lare-lare, botn tiyang spuh kados nagari sans. Tumindak makatn wau gntosan dumugi tanggal kaping wolu Sawal, inggih punika ingkang dipun wastani Riyadi Sawal. Inggih dintn punika plsiranipun sadhrk kampung utawi para priyantun anglur dhatng sagantn prlu ningali lumban. Mnggah ingkang dipun wastani lumban punika, botn adus, nanging ttiyang ambalah (juru misaya ulam), ttiyang pakampungan, para priyantun sami rukunan saha urunan, sami numpak baita, ingkang baitanipun sami dipun rngga-rngga (pajang-pajang), saha sami sangu warni-warni, inggih punika: ttdhan, ombn-ombn, gamlan, jsbn, kodhak (pirantos motrt) lan sans-sansipun. Lampahing baita mubng-mubng ing sagantn ngriku, trkadhang wontn ingkang dhatng pulo suwung, nama: pulo Marongan, Masaran, saha pulo Suwalan. Sadaya wau dumunung ing salr kilnipun pasisir ing Rmbang, wiwitipun lumban punika jam 6 utawi jam 7 enjing, ngantos sontn sawg sami mantuk. Kathahing tiyang ningali tanpa wicalan, ngantos ing salbting pakampungan saha padhusunan sami spn mamring, jalaran tiyangipun sami kesah ningali wau. Malah tiyang saking sajawining Rmbang ugi kathah ingkang dhatng ngriku ningali, kados ta saking: Blora, Pathi, Kudus lan sans-sansipun. Nalika malm Riyadi Sawal saha enjingipun ugi taksih kathah tiyang ingkang sami ambrondong mrcon kados nalika Riyadi Agng. Wasana namung punika atur kula bab tatacara Riyadi ing Rmbang. Terjemahan bebasnya: Tatacara di Rembang. Kupatan selepas Lebaran, masyarakat sudah mulai syukuran kupat dan lepet. Dibagikan pada anak-anak, bukan orang tua seperti wilayah lain. Kegiatan saling tukar kupat dan lepet ini berlangsung sampai tanggal 8 Syawal, yaitu Lebaran Syawal. Di hari tersebut, penduduk kampung atau para priyayi pergi ke pantai melihat lumban. Yang disebut lumban bukanlah mandi, namun warga mencari ikan. Warga perkampungan, para priyayi rukun serta iuran, bersama-sama naik perahu yang telah dipajang. Juga membawa bekal aneka macam seperti makanan, miuman, gamelan, musikan, kamera dan lainnya. Jalannya perahu berputar-putar di laut, terkadang ada yang sampai pulau tak berpenghuni, bernama pulau Marongan, Masaran, dan pulau Suwalan. Semua tempat itu di sisi barat laut pesisir di Rembang. Lumban dimulai pukul 6 atau 7 pagi hingga sore hari. Pengunjung tak terhitung banyaknya, ada yang Blora, Pati, Kudus, dan lainnya. Saat malam Riyadi Syawal serta paginya banyak yang menyalakan petasan seperti Riyadi Ageng. Titik kesamaan antara Tradisi Kupatan Jalasutra dengan kegiatan budaya kupatan di daerah lain adalah kemeriahan dan d
Tingkatan data
Provinsi
Tahun pendataan
1 Januari 2020
Tahun verifikasi dan validasi
1 Januari 2020
Tanggal penetapan
1 Januari 2020
Provinsi
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Sebaran kabupaten/kota
KAB. BANTUL
Entitas kebudayaan
Warisan Budaya Takbenda
Domain WBTb UNESCO
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Kategori WBTb UNESCO
Kuliner Tradisional
Nama objek OPK
Kupatan Jolosutro
Wilayah atau level administrasi
Provinsi
Kondisi sekarang
Masih bertahan
Provinsi
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Kabupaten/Kota
-
Updaya pelestarian
Adapun saran yang dapat disampaikan diantaranya bahwa : 1. Perlu adanya kerjasama dan penataan kelembagaan yang konkret antara masyarakat lokal, pemerintah daerah dan pengelola. 2. Perlu diciptakan penguatan kualitas produk lokal yang khas dalam pengembangannya 3. Guna meminimalisir dampak negatif terhadap budaya lokal asli daerah, maka diperlukan adanya edukasi informasi dan arahan lebih lanjut dari pihak-pihak terkait kepada para pengunjung atau wisatawan. 4. Langkah pembinaan dibidang spiritual (belief system) dari pihak manapun jangan sampai menghilangkan atau meniadakan nilai-nilai tradisi yang adiluhung (local genius). 5. Perpaduan sinergis antara religi yang di anut oleh masyarakat di Srimulyo Piyungan Bantul Yogyakarta dengan tradisi ritual Kupatan Jalasutra, merupakan kontribusi yang signifikan untuk menjaga kelestarian tradisi lokal masyarakat Jalasutra dengan dunia kepariwisataan di Indonesia.
Referensi
-
Tanggal penerimaan formulir
-
Tempat penerimaan formulir
-
Nama petugas penerimaan formulir
-
Nama lembaga
-
Nama SDM Kebudayaan
-

Data Relasi

Nomor
Nama
Entitas
Kategori
Tidak ada data

Sebaran Kabupaten / Kota

Nomor Dapobud
Nama OPK
Kategori OPK
Kabupaten /Kota
Provinsi
OP.6060.20200101.09088Kupatan JolosutroPengetahuan TradisionalKAB. BANTULDAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
1 - 1 dari 1
Baris per halaman